Sabtu, 07 Januari 2012

Catatan 7 Januari 2012


Hari ini mungkin salah satu hari yang tidak boleh aku lupakan dalam kenangan hidupku. Hari dimana untuk pertama kalinya aku menyatakan cinta pada seseorang yang aku benar-benar cinta dan aku bersedia untuk menghabiskan sisa umur yang diberikan Allah SWT di muka bumi ini.
Sayangnya apa yang aku harapkan tidak tercapai. Dia menolak dengan cara halus. Dia berkata bahwa dia telah memiliki seorang yang telah mengisi hatinya secara utuh. Dia tidak mungkin berpisah dengan orang itu walaupun  orang tuanya saat ini tidak merestui hubungan ini. Dia dan pasangannya telah siap menanggung resiko apapun yang akan dihadapi akibat dari keputusan yang telah diambil.
Aku mengenal cinta untuk pertama kali saat aku menginjak SMP. Mungkin banyak orang yang mengatakan bahwa cinta yang aku rasakan saat itu adalah cinta monyet. Tapi sebenarnya yang aku rasakan saat itu benar-benar cinta murni tanpa syarat. Rasa ingin melindunginya seperti seseorang yang sangat mencintai guci porselen yang tidak ingin membuat cacat gucinya tersebut hingga tidak mau dipakai untuk apapun. Guci yang seharusnya sebagai tempat air atau vas hanya diletakkan di ruang tamu cuma difungsikan untuk dekorasi. Rasa yang aku rasakan hampir sama. Aku sudah sangat senang walau hanya melihat dia dari kejauhan, menjaga dia dari gangguan teman-teman yang ingin mengganggunya. Aku tidak perduli kekurangan apapun yang ada di dirinya. Bagiku dia sempurna seperti seorang bidadari. Hingga ada seseorang yang berusaha untuk mendekati aku tidak aku hiraukan. Saat SMA keberanianku muncul, aku mulai berani mendekati dia. Kebetulan orang tuanya dan orang tuaku telah mengenal dekat sehingga lebih memudahkan aku untuk mendekatinya. Tapi orang tuanya yang sepertinya mengetahui maksudku, menolak hubunganku dengan putrinya dengan cara yang halus,"Mas belajar dulu yang rajin, besok kalau sudah sukses baru bisa main ke sini lagi."
Sejak saat itu aku tidak pernah mendekatinya lagi. Dalam hatiku aku bertekat untuk sukses seperti apa yang dikatakan oleh orang tuanya hingga aku menolak berhubungan lagi dengan seseorang tanpa memiliki sesuatu yang dapat dijadikan kebanggaan yang mungkin dihargai oleh para orang tua. Disamping pengalaman ini orang tuaku pun juga mengatakan "Kalau engkau sudah berani membuat komitmen berarti kamu sudah siap untuk menanggung segalanya baik materi, perhatian, dan cinta kasih."
Dengan segala tekatku tadi aku memasuki bangku kuliah. Untuk pertama kalinya aku berpisah dengannya karena pilihan sekolahku berbeda kota dengan pilihan sekolahnya. Jurusan yang aku ambil pun tidak sama. Aku mengambil mata kuliah kedokteran dengan harapan aku bisa mandiri. Saat itu aku berpikir, orang tuaku  hanya memiliki biaya untuk menyekolahkanku tanpa bisa memberi modal usaha. Lagipula jika usaha kadang berhasil kadang tidak. Aku melihat seorang dokter tidak memerlukan modal yang besar untuk usaha pertama kali. Jika seorang dokter tidak diterima di semua tempat kerja, dia bisa membuka praktek sendiri. Tempat usahanya pun tidak perlu tempat yang ramai. Cukup di rumah juga bisa. Saat itu aku mendengar dari salah seorang guruku pula mengatakan bahwa ada 2 mata pencaharian yang sangat dihargai oleh nabi SAW yang tidak dapat ditinggalkan oleh manusia yaitu guru dan tabib. Sudah jelas aku tidak berbakat untuk bicara di depan yang artinya aku tidak berbakat untuk menjadi guru yang mengharuskan sering berbicara di depan. Akhirnya semakin kuatlah pilihanku untuk memilih kedokteran sebagai tujuan sekolahku.
Dengan segala kesibukan yang aku hadapi di fakultas sedikit demi sedikit aku bisa membagi fokusku tidak hanya untuk dia. Tapi tetap saja dia memiliki satu tempat yang tidak tergantikan di dalam hatiku. Pernah ada seseorang yang mencuri perhatianku. Akhirnya mulai timbul perasaan ingin memilikinya. Perasaan ini tidak sama seperti saat pertama kali mengenal cinta. Aku merasa selain cinta sudah timbul rasa ingin memiliki yang aku gambarkan jika dia memiliki cacat mungkin aku tidak akan memilihnya. Ini yang aku identifikasikan sebagai cinta yang egois yang tidak mau melihat kekurangan yang ada pada pasangannya. Untungnya aku menyadari kelemahan cintaku ini. Akhirnya aku tidak memperturutkan rasa yang timbul. Aku pun masih teringat kata-kata orang tua cinta pertamaku dulu yang sepertinya sangat membekas di hatiku.
Sebelum masa kuliahku selesai aku mendengar kejadian yang tidak aku duga-duga. Melalui salah seorang sahabatku aku mendengar cinta pertamaku meninggal dunia akibat penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE). Akupun seperti kehilangan tujuan hidupku. Tapi untungnya kuliahku memasuki tahap-tahap akhir. Mungkin kalau hal ini terjadi saat awal kuliah aku pasti tidak ada semangat untuk kuliah.
Setelah dia meninggal aku semakin menutup diri. Aku hanya memikirkan apa yang harus aku raih selanjutnya. Mungkin ini terjadi akibat aku sudah kehilangan seseorang yang telah menjadi tujuanaku selama ini. Hingga dalam memilih pasangan pun aku juga begitu. Walaupun aku tidak mengincar harta pasanganku, aku tetap memikirkan bagaimana pasanganku ini membuat keluargaku sukses. Hal ini terjadi dari saat aku lulus dari kedokteran hingga aku bertemu dengan wanita yang jadi fokus utama cerita ini.
Saat itu aku masih berprinsip wanita adalah hanya sebagai objek kesuksesan. Tiba-tiba dia muncul di tempat kerjaku dengan sejuta pesona yang mulai meruntuhkan ego yang telah terbangun sejak lama. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya dia mulai mendesak diriku untuk membuka pinta hatiku yang sudah lama tertutup. Pernah suatu saat aku mencoba untuk mencari kekurangannya dengan harapan agar aku bisa membangun egoku lagi dengan kekurangannya itu tapi sia-sia saja. Semakin aku tahu kekurangannya semakin aku ingin menutupi kekurangannya itu dan menyempurnakan hidupnya. Dengan ketidakberdayaanku ini aku menjadi emosi. Aku menjadi cepat marah. Akhirnya aku menyerah pada keadaan, menetapkan dan memantapkan hati untuk mulai mendekatinya.
kelihatannya dia sadar bahwa aku mulai mendekatinya. Dia mulai terasa menjauh dari jangkauanku. Aku menjadi bingung untuk menentukan sikap. Aku hubungi salah satu temannya yang kuanggap bisa dipercaya dah tahulah aku mengapa dia menjauh. Aku merasa jika hanya kabar angin tidak akan ada gunanya jika tidak bicara langsung. Walaupun temannya sudah memperingatkan aku aku tidak perduli. Hatiku berkata aku harus berani menanggung resiko.
Akhirnya terjadilah apa yang telah aku ceritakan di awal tadi. Rupanya hatinya sudah tertutup sama sekali dengan kehadiran orang lain.

Entah sampai kapan aku mencari ...